Aku duduk dalam keramaian orang bicara di suatu cafe yang sering dikunjungi oleh para pendusta yang bangga dengan masa depan yang tak kunjung ada
Bagiku hanya sekedar menunggu perempuan adalah perihal yang sangat aku benci dan tak pernah punya niatan sejak kala. Itu pun aku punya alasan yang sederhana
Hanya saja tak rela bila sebagian waktu yang aku sisikan untuk bersantai dalam tegukan secangkir kopi berubah menjadi batu
Kau tahu kan? Suasana paling aku suka dan yang paling dirindu
Aku harap kau tak memberikan jawaban dari pertanyaan itu pada orang lain. Yang aku inginkan hanya kau yang tahu
Biarkan orang lain mencari jawabannya dengan bertanya pada seorang polisi yang sedang mengatur jalan, tepat dipertigaan menuju bangunan tua peninggalan masa lampau. Atau setidaknya punya usaha untuk bertanya di akun sosmed ibuku
Aku sengaja melakukan semuanya dan sudah terbiasa seperti itu. Berlagak sok misterius. Semisal buronan yang sengaja menyembunyikan semua identitas pribadinya
Ternyata pandanganku tertuju pada sebuah jendela yang paling pojok di pinggiran kota. Dan aku rasa suasana malam hari udaranya cukup dingin. Itu pun tidak baik untuk paru-paru balita. Yang dipeluk ayahnya dengan satu lengan diatas jok sepeda motor tua
Aku membayangkan itu kau yang memelukku dengan satu lengan dari belakang. Pasti aku pula merasakan sulit bernafas seperti anak balita – Barangkali paru-paruku tak terlalu sehat bila kau dekap dengan ketidakpastian rasa
Atau lebih baik aku beranjak pergi dari cafe ini. Dan aku tinggalkan secarik kertas bon pembayaran. Agar kau penasaran dan bertanya pada kasir
Siapa yang barusan duduk di meja nomor 18?
Di Atas Meja Ada Pesan Buat Kau – oleh Muh Shodiq Masrur
Yogyakarta
fb: Muh Shodiq Masrur